Selasa, 24 Oktober 2017
Tugas Mata Kuliah Kehutanan Masyarakat : Membuat Cerita Mengenai Mengantarkan Petani Hutan Rakyat Menjadi Pengusaha Hutan di Lahan Milik Sendiri
Pak Subadri merupakan warga Desa
Dlimas, Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Beliau bekerja
sebagai buruh di pabrik tekstil dengan penghasilan yang kurang mampu untuk
mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Beliau memiliki lahan warisan dari orang
tuanya seluas 1.5 ha. Lahan itu setelah menjadi hak milik Pak Subadri hanya
ditanami sengon karena beliau tidak mempunyai pengetahuan untuk mengolah lahan
tersebut. Sengon yang ditanam berumur 2 tahun tetapi pertumbuhannya kurang
maksimal karena beliau tidak mempunyai pengetahuan tentang perawatan tanaman
sengon. Pak Subadri berniat untuk menjual tanah tersebut karena tidak mampu
untuk merawatnya.
Mufid merupakan lulusan sarjana kehutanan IPB. Dia
membuka usaha pembibitan tanaman kehutanan di Magelang. Suatu hari Mufid pergi
ke Desa Dlimas untuk mengantarkan pesanan bibit jabon merah. Mufid kemudian
melihat lahan luas yang hanya ditanami sengon yang pertumbuhannya kurang
maksimal. Mufid kemudian bertanya kepada salah seorang warga yang lewat
mengenai lahan tersebut. Menurut informasi dari warga, lahan tersebut milik Pak
Subadri. Mufid kemudian berinisiatif untuk mendatangi rumah Pak Subadri untuk
menanyakan lahan tersebut.
Keesokan harinya Mufid bersilaturahim ke rumah Pak
Subadri. Setelah memperkenalkan diri Mufid kemudian bertanya mengenai lahan
sengon milik Pak Subadri. Pak Subadri menceritakan bahwa lahan tersebut
merupakan lahan warisan dari orang tuanya tetepi beliau tidak mampu mengolah
lahan tersebut. Mufid kemudian mengajak Pak Subadri untuk bekerjasama. Mufid memberitahu
Pak Subadri bahwa dia merupakan lulusan sarjana kehutanan IPB yang telah
belajar bagaimana mengolah suatu lahan untuk ditanami. Mufid juga meyakinkan
Pak Subadri bahwa dia telah memiliki sedikit pengalaman dalam pembibitan
tanaman kehutanan. Mufid menawarkan kerjasama untuk menanami lahan milik Pak
Subadri dengan beberapa tanaman kehutanan dan pertanian agar hasilnya lebih
optimal. Mufid juga sedikit mengenalkan pola agroforestri kepada Pak Subadri.
Setelah mendapat penjelasan dari Mufid, Pak Subadri kemudian sepakat untuk
bekerjasama dengan Mufid. Mufid akan menyediakan bibit dan pupuk sementara Pak
Subadri akan mengelola lahan tersebut. Mereka sepakat bahwa keuntungan yang
dibagi yaitu 70% milik Pak Subadri dan 30% milik Mufid selama 6 tahun.
Tiga hari kemudian Mufid kembali ke rumah Pak Subadri
dengan membawa beberapa buku tentang tanaman kehutanan dan pola agroforestri.
Pak Subadri dan Mufid kemudian menyepakati tanaman apa saja yang akan ditanam
di lahan milik Pak Subadri. Atas saran dari Mufid kemudian mereka menyetujui
bahwa tanaman sengon yang telah ada di lahan tersebut tetap dibiarkan tetapi
diatur jarak tanamnya dengan melakukan penjarangan. Mufid menyarankan untuk
menanami pohon gaharu karena minyaknya memiliki nilai jual yang tinggi. Mufid
juga menyarankan untuk menanam tanaman lamtoro untuk memperbaiki tanah di lahan
tersebut. Selain itu daun lamtoro bisa digunakan untuk pakan ternak sapi milik
beberapa tetangga Pak Subadri.
Pak Subadri, Mufid, dibantu dengan beberapa tetangga
Pak Subadri mulai menanam gaharu dan lamtoro serta menjarangi beberapa tanaman
sengon yang terlalu rapat. Lahan tersebut kemudian dikelola oleh Pak Subadri
beserta Pak Ahmad dan Pak Ikhsan yang merupakan tetangga Pak Subadri. Mereka
sepakat bahwa hasil penjualan minyak gaharu kelak Pak Ikhsan dan Pak Ahmad masing-masing
mendapat keuntungan 10%. Jadi hasil penjualan minyak gaharu Pak Subadri
mendapat hasil 50%, Mufid 30%, Pak Ahmad 10%, dan Pak Ikhsan 10%. Selain
ditanami tanaman kehutanan, lahan tersebut oleh tetangga Pak Subadri ditanami
tanaman pertanian seperti cabai, kacang tanah, dan kobis. Tanaman pertanian
tersebut sebagian dikonsumsi oleh Pak Subadri dan sebagian lagi dijual ke
pasar. Pak Subadri memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai buruh di pabrik
tekstil dan mulai menekuni penggarapan lahan miliknya dibantu beberapa
tetangganya.
Setelah 2 tahun sengon yang awalnya telah ditanam
tersebut dipanen. Mufid kemudian menyarankan kepada Pak Subadri untuk menanam kopi
karena masih sedikit petani yang menanam kopi di Kabupaten Magelang. Sama
seperti pembagian keuntungan minyak gaharu, hasil penjualan kopi Pak Subadri
mendapat hasil 50%, Mufid 30%, Pak Ahmad 10%, dan Pak Ikhsan 10%. Sekarang di
lahan milik Pak Subadri seluas 1,5 ha tersebut ditanami gaharu, lamtoro, dan
kopi serta beberapa tanaman pertanian seperti cabai, kacang tanah, dan kobis.
Mereka sukses menjadi pengusaha bahan baku minyak gaharu. Mereka mendapat
penghasilan dari penjualankopi, getah gaharu serta penjualan tanaman pertanian.
Mereka juga dapat memanfaatkan daun lamtoro sebagai pakan sapi dan sayuran
untuk dikonsumsi keluarga mereka.
Pola agroforestri yang dirancang oleh Mufid tersebut
sudah sesuai untuk diterapkan karena memanfaatkan lahan sengon yang
penghasilannya kurang maksimal. Lahan tersebut akhirnya ditanami tanaman
kehutanan seperti gaharu yang memiliki nilai jual getah yang mahal serta
tanaman lamtoro yang dapat bermanfaat untuk memperbaiki struktur tanah. Setelah
sengon dipanen kemudian ditanami kopi sehingga ada penambahan penghasilan dari
hasil penjualan kopi. Tanaman pertanian yang ditanam di sela-sela tanaman
kehutanan tersebut juga menguntungkan karena selain dapat dikonsumsi sendiri
juga hasilnyadapat dijual ke pasar. Mufid telah berhasil mengantarkan Pak
Subadri dan beberapa tetangganya untuk menjadi pengusaha hutan di lahan milik
mereka sendiri.
Nama : Faradila Mei Jayani
NIM : E44120030
Departemen : Silvikultur
NIM : E44120030
Departemen : Silvikultur
Tugas Mata Kuliah Kehutanan Masyarakat : Resume Buku Panduan Pemberdayaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH)
Resume
Panduan
Pemberdayaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH)
Sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
dicanangkan oleh Perum Perhutani pada tahun 2001. Sistem ini membuka kesempatan
bagi masyarakat desa hutan untuk terlibat aktif dalam pengelolaan hutan.
Keterlibatan aktif ini dimulai dari terjalinnya kerjasama pengelolaan hutan antara
Perhutani dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Panduan Pemberdayaan
LMDH merupakan panduan untuk satu rangkaian proses menuju masyarakat desa hutan
yang berdaya dalam melaksanakan kerjasama pengelolaan hutan dalam sistem PHBM.
Panduan Pemberdayaan LMDH berisi lima
tahapan, yaitu: a) pengembangan LMDH, b) perencanaan partisipatif petak hutan
pangkuan desa, c) merumuskan kriteria dan indikator keberlanjutan sumberdaya
hutan, d) monitoring dan evaluasi, dan e) evaluasi kinerja sebuah program atau proyek
oleh kelompok.
Tahap 1 yaitu pengembangan Lembaga Masyarakat Desa
Hutan. Pengembangan lembaga diawali dengan pertemuan multi pihak di tingkat
desa untuk menentukan kriteria siapa pelaku atau masyarakat pengguna hutan.
Penentuan masyarakat pengguna hutan menggunakan kriteria yang telah disepakati
bersama. Langkah kedua yaitu pengenalan Pendekatan Aksi Partisipatif (PAP). PAP
menunjukkan adanya hubungan interaksi aktif diantara masyarakat yang
difasilitasi oleh fasilitator untuk melakukan tindakan atau aksi dalam sebuah
proses. Langkah selanjutnya yaitu penyusunan aturan internal yaitu berupa
Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) lembaga. Sebuah lembaga di
tingkat apapun pada bidang apapun membutuhkan 2 perangkat ini sebagai aturan
yang disusun dan berlaku dalam lembaga. Pengembangan ekonomi lembaga penting
dilakukan karena lembaga membutuhkan dana untuk berbagai kegiatan.
Tahap 2 yaitu perencanaan partisipatif petak hutan
pangkuan desa dalam sistem PHBM. Langkah pertama yaitu perumusan visi dan misi
bersama. Visi dan misi bersama ini merupakan dasar bagi masyarakat untuk
merumuskan rencana dan strategi bagi tercapainya cita-cita bersama dalam
pengelolaan sumberdaya alam yang ada di desanya. Langkah kedua yaitu menentukan
tujuan dan sasaran yang jelas. Perumusan tujuan dan sasaran dalam pengelolaan
hutan didasarkan pada potensi dan daya dukung yang dimiliki oleh desa. Langkah
selanjutnya adalah penting untuk melakukan identifikasi untuk melihat peluang
dukungan dana dan kelembagaan dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan
yang sama dalam pengelolaan hutan. Langkah terakhir dalam perencanaan
pengelolaan petak hutan pangkuan yaitu perencanaan untuk melakukan monitoring
dan evaluasi.
Tahap 3 yaitu merumuskan kriteria dan indikator
sebagai alat evaluasi keberlanjutan sumberdaya hutan dalam sistem PHBM. Langkah-langkah
penting dalam merumuskan kriteria dan indikator kelestarian sumberdaya hutan
dalam sistem PHBM adalah: a) memahami pengertian dasar dan hirarki dari
prinsip, kriteria, indikator dan pengukur; b) mengumpulkan bahan untuk
penyusunan kriteria dan indikator; c) merumuskan model kriteria dan indikator;
dan d) penentuan skala nilai dan pembobotan.
Tahap 4 yaitu tahap pelaksanaan evaluasi
keberlanjutan sumberdaya hutan dalam sistem PHBM dengan model kriteria dan
indikator. Evaluasi dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu: a) persiapan, b)
menentukan sasaran dan tujuan, c) melakukan proses evaluasi keberlanjutan
sumberdaya hutan dalam sistem PHBM, d) membuat sistem penyeimbang dalam
evaluasi keberlanjutan sumberdaya hutan, e) melakukan refleksi atas evaluasi,
dan f) membuat rencana tindaklanjut dalam kegiatan keberlanjutan sumberdaya
hutan dalam sistem PHBM.
Tahap 5 yaitu evaluasi kinerja sebuah program atau
proyek secara partisipatif. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui respon, hasil
dan dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan sebuah program atau proyek. Langkah
kedua adalah pemaparan tentang kilas balik perjalanan program atau proyek yang
telah dilakukan oleh para pihak. Langkah ketiga adalah pemaparan prinsip,
kriteria dan indikator yang digunakan dalam evaluasi kinerja. Langkah keempat
yaitu pemaparan tentang cara penilaian terhadap indikator yang digunakan dalam penilaian
kinerja sebuah program atau proyek. Langkah kelima yaitu pemberian nilai atau
penilaian terhadap kinerja sebuah program atau proyek dengan menggunakan
indikator dan cara penilaian yang telah ditentukan dan disepakati bersama.
Langkah keenam yaitu pemaparan hasil penilaian kinerja dari setiap kelompok,
dimaksudkan agar hasil penilaian terhadap kinerja program atau proyek yang
dilakukan oleh setiap kelompok dapat diketahui oleh kelompok-kelompok yang lain.
Pedoman dan aturan-aturan terkait dengan program
PHBM di lingkup Perum Perhutani perlu ditempatkan sesuai dengan prinsip-prinsip
dasar PHBM dalam pelaksanaan di tingkat lapangan. Penyelarasan program PHBM
dengan konteks sosial budaya masyarakat desa-desa sekitar hutan memerlukan
kemampuan para pihak harus ditingkatkan untuk mendukung pelaksanaan PHBM. Kemampuan
lembaga untuk menjalankan fungsi lembaganya akan memiliki arti penting bagi
lembaga tersebut mewujudkan visi dan misi yang telah dirumuskan bersama.
Sumber :
Awang SA, Widayanti WT, Himmah B, Astuti A, Septiana RM, Solehudin, Novenanto
A. 2008. Panduan Pemberdayaan Lembaga Masyarakat Desa
Hutan (LMDH). Bogor (ID): Center for International Forestry Research (CIFOR).
Nama : Faradila Mei Jayani
NIM : E44120030
Kelompok : 7 (sore)
NIM : E44120030
Kelompok : 7 (sore)
Tugas Mata Kuliah Kehutanan Masyarakat : Resume Kearifan Tradisional Suku Maybrat dalam Perburuan Satwa sebagai Penunjang Pelestarian Satwa
Resume
Kearifan Tradisional
Suku Maybrat dalam Perburuan Satwa
sebagai Penunjang Pelestarian Satwa
(Karya Freddy
Pattiselann dan George Mentansan)
Kearifan tradisional merupakan salah satu aspek yang
berperan dalam pelestarian satwa yang sampai saat ini masih dipraktekkan oleh masyarakat
Maybrat di Kabupaten Sorong Selatan. Studi tentang kearifan tradisional suku
Maybrat dilakukan untuk melihat sampai sejauh mana praktek kearifan tradisional
memberikan dampak terhadap upaya pelestarian satwa di Kabupaten Sorong Selatan.
Kegiatan berburu merupakan kegiatan sampingan yang dilakukan
oleh suku Maybrat yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan akan protein dan
daging dalam keluarga. Mata pencarian hidup yang utama dari orang Maybrat yaitu
bercocok tanam secara berpindah pindah. Teknik perburuan satwa oleh suku
Maybrat hampir sama dengan teknik perburuan yang dilakukan oleh kelompok etnik
lainnya di Papua. Teknik perburuan tersebut menggunakan busur dan panah,
tombak, penggunaan jerat dan anjing berburu.
Lokasi berburu suku Maybrat masih terbatas pada tiap
wilayah klen atau berdasarkan hak ulayat yang jelas. Batas-batas tersebut
dipahami oleh masyarakat anggota klen sehingga dalam melakukan kegiatan berburu
mereka tidak boleh melintas atau melewati batas-batas hak ulayat mereka.
Jenis hewan buruan suku Maybrat yaitu babi hutan (Suidae),
kuskus (Phalangeridae), tikus tanah, soa-soa (Varanidae), rusa (Cervidae),
maleo (Megepodiidae), kasuari (Casuaridae) dan mambruk (Columbidae). Penggunaan
bagian tubuh satwa sebagai asesories pakaian adat sangat umum. Bulu burung
kasuari (Casuaridae), mambruk (Columbidae) dan maleo (Megapodiidae) biasanya
dipakai sebagai hiasan kepala yang akan digunakan pada upacara adat seperti
kelahiran, kematian atau upacara permohonan untuk diberikan keberhasilan dalam
berburu.
Kegiatan perdagangan melalui proses barter banyak
dilakukan untuk keperluan sosial budaya di antara sesama kelompok etnik. Perdagangan
daging satwa untuk dikonsumsi dan diperdagangkan secara luas di pasar
tradisional di Papua masih jarang ditemukan. Praktek kearifan tradisional
seperti penggunaan alat buru, tempat untuk berburu dan jenis satwa yang diburu
secara tidak langsung memberikan dampak positif guna mendukung usaha
pelestarian satwa di Sorong Selatan.
Nama : Faradila Mei Jayani
NIM : E44120030
Kelompok : 7
NIM : E44120030
Kelompok : 7
Tugas Mata Kuliah Kehutanan Masyarakat : Strategi Adaptasi Masyarakat Bajo di Desa Sulaho, Kecamatan Lasusua, Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara
Resume
Masyarakat Bajo merupakan masyarakat yang tinggal di
atas perahu yang disebut bido. Mereka hidup berpindah-pindah secara berkelompok
menuju tempat yang berbeda tergantung lokasi penangkapan ikan yang mereka pilih.
Masyarakat Bajo memiliki mata pencaharian utama sebagai penangkap ikan atau
memanfaatkan sumber daya alam laut. Mereka kurang memperhatikan lingkungan
darat dengan segala potensi sumber daya dan tidak memanfaatkan dengan baik.
Masyarakat Bajo menjalani hidupnya sejak lahir, berkeluarga, hingga akhir
hayatnya di atas perahu. Sebagian besar dari mereka telah tinggal menetap di
pinggir laut. Berkembang mitos di masyarakat Bajo bahwa Sang Dewata memberikan
lingkungan laut bagi orang-orang Bajo.
Masyarakat Bajo mengenal dua istilah yaitu sama
(orang Bajo) dan bagai (bukan orang Bajo). Konsep “sama dan bagai” telah
mengalami perubahan pada masyarakat Bajo yang tinggal di Desa Sulaho Kecamatan
Lasusua Kabupaten Kolaka Utara, Propinsi Sulawesi Tenggara akibat interaksi
yang intensif dengan orang bagai khususnya orang Bugis. Keterikatan masyarakat
Bajo dengan orang bagai mengharuskan mereka berinteraksi dengan kehidupan di
darat. Desa Sulaho yang mayoritas penduduknya adalah orang Bajo dikenal sebagai
perkampungan orang Bajo, sedangkan orang Bugis merupakan kelompok minoritas.
Walaupun demikian bahasa sehari-hari yang digunakan adalah Bahasa Bugis,
sedangkan Bahasa Bajo kadang-kadang hanya digunakan oleh orang-orang tua atau
jika bertemu dengan kerabatnya yang datang dari luar Desa Sulaho.
Perubahan pola pemukiman dari darat ke laut
menyebabkan orang Bajo mengalami perubahan budaya. Kelompok suku bangsa
mayoritas (Bajo) telah mengadaptasikan unsur unsur budayanya ke dalam
unsur-unsur budaya kelompok suku bangsa minoritas (Bugis). Orang Bajo mengadopsi
pola pemanfaatan teknologi penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan Bugis
di Desa Sulaho maupun di luar Desa Sulaho. Interaksi antara orang Bajo dengan
orang Bugis, menyebabkan pola budaya orang Bugis mulai mempengaruhi kehidupan
sosial budaya dan ekonomi orang Bajo.
Pola pemukiman masyarakat Bajo mulai menetap di
Sulaho dengan mendirikan rumah panggung di atas air pada kawasan pantai. Orang-orang
Bugis memperkenalkan kepada mereka sejenis perahu bercadik yang disebut
lepa-lepa yang dijadikan sarana penangkapan ikan dan transportasi. Kehadiran
orang Bugis yang bermukim di pesisir pantai sangat dubutuhkan oleh orang Bajo untuk
memenuhi segala kebutuhannya, baik sandang, pangan maupun pemenuhan alat-alat
produksi penangkapan. Ketergantungan orang Bajo terhadap orang Bugis dalam
pemenuhan berbagai kebutuhannya, menyebabkan berbagai unsur-unsur budaya orang
Bugis lambat laun diadopsi oleh orang Bajo.
Sumber:
Syarifuddin. 2009. Adaptasi Linguistik Bahasa Luar terhadap Tradisi
Lisan (Mantra) Masyarakat Bajo: Sebuah Transformasi Budaya Tertutup ke Budaya
Terbuka. Kajian Linguistik dan Sastra. 21(1):81-90
Nama : Faradila Mei Jayani
NIM : E44120030
Kelompok : 7
Kelompok : 7
Tugas Mata Kuliah Ekologi Restorasi : Konsep Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Reklamasi Lahan Pasca Tambang
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Kegiatan penambangan
bahan galian berharga dari lapisan bumi telah berlangsung sejak lama. Konsep
dasar kegiatan ini selama kurun waktu 50 tahun relatif tidak berubah hanya skala
kegiatannya yang berubah. Mekanisasi peralatan penambangan telah menyebabkan skala
penambangan semakin membesar. Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan usaha
yang kompleks, beresiko, jangka panjang, melibatkan teknologi tinggi, padat
modal, dan aturan regulasi yang dikeluarkan dari beberapa sektor.
Menurut Mansur
(2013) pertambangan di Indonesia umumnya merupakan tambang permukaan sehingga
harus membersihkan seluruh tanaman yang ada di permukaan tanah. Hal ini
menyebabkan perubahan yang drastis dari hutan lebat menjadi lubang yang
menganga. Lubang-lubang dan bukit-bukit bekas pengambilan bahan galian dapat
menyebabkan longsor jika tidak ditata dengan baik. Permukaan lahan yang terbuka
dapat menyebabkan pendangkalan sungai. Kerusakan lingkungan disebabkan karena
praktik-praktik penambangan yang tidak bertanggung jawab.
Pembangunan
berwawasan lingkungan menjadi suatu kebutuhan penting bagi setiap bangsa dan
negara yang menginginkan kelestarian sumberdaya alam. Kegiatan pertambangan
diharapkan dapat menerapkan konsep pengelolaan lingkungan agar tidak
menimbulkan kerusakan lingkungan. Kegiatan pertambangan mempunyai daya ubah
lingkungan yang besar sehingga memerlukan perencanaan total yang matang sejak
tahap awal sampai pasca tambang. Tanpa perencanaan dan pengelolaan yang baik
maka sangat mungkin usaha pertambangan akan menyebabkan kerusakan alam yang
besar.
Masalah utama
yang timbul pada lahan bekas tambang yaitu perubahan lingkungan. Perubahan kimiawi
terutama berdampak terhadap air tanah dan air permukaan. Perubahan fisik berupa
perubahan morfologi dan topografi lahan. Perubahan iklim mikro juga dapat
terjadi karena perubahan kecepatan angin, gangguan habitat biologi berupa flora
dan fauna, serta penurunan produktivitas tanah dengan akibat menjadi tandus
atau gundul. Berdasarkan perubahan-perubahan akibat pertambangan tersebut maka perlu
dilakukan upaya reklamasi. Reklamasi selain bertujuan untuk mencegah erosi atau
mengurangi kecepatan aliran air limpasan juga untuk menjaga lahan agar tidak
labil dan lebih produktif. Reklamasi diharapkan menghasilkan nilai tambah bagi
lingkungan dan menciptakan keadaan lingkungan yang jauh lebih baik dibandingkan
dengan keadaan sebelumnya.
Tujuan
Menyusun konsep
rencana pengelolaan lingkungan dan reklamasi lahan pasca tambang untuk mengurangi
kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dan menghasilkan nilai tambah
bagi lingkungan.
PEMBAHASAN
Pencegahan
dan Pengelolaan Air Asam Tambang
Air asam tambang
(AAT) merupakan air yang bersifat asam (pH= 3 – 4) dan terbentuk akibat adanya
kegiatan pertambangan. Proses pembentukan dipengaruhi oleh air, oksigen, dan
batuan yang mengandung mineral sulfida serta mengandung logam berat terlarut
yang berasal dari batuan yang berada di lokasi penambangan. Lokasi tambang
batubara yang berpotensi besar sebagai sumber AAT yaitu kolam penampung air
asam tambang (water pond) (Wijaya 2010). Polutan yang terdapat dalam AAT yaitu
logam kadmium (cd) yang dapat meracuni perairan dan berdampak buruk bagi
kesehatan makhluk hidup di sekitarnya.
Menurut
Gautama (2012) langkah pertama dari pencegahan AAT yaitui identifikasi dan
karakterisasi batuan yang berpotensi membentuk asam. Hal ini dilakukan sejak
tahapan eksplorasi, perencanaan dan perancangan, konstruksi, penambangan, dan
pasca tambang. Kenyataannya pada kegiatan penambangan terbuka AAT tidak dapat
dicegah secara total sehingga AAT perlu dikelola. Pengelolaan AAT ini dilakukan
agar memenuhi baku mutu sebelum dilepaskan ke lingkungan atau badan perairan
alami. Pengelolaan AAT tersebut dapat dikelompokan menjadi pengolahan aktif dan
pengolahan pasif.
Pengelolaan AAT
secara aktif dapat dilakukan secara kimiawi, fisik-mekanik, dan biologi. Pengelolaan
menggunakan bahan kimia ini dapat digunakan berbagai jenis material alkali yang
dapat memperbaiki kualitas AAT. Teknik pengelolaan kimiawi lain yaitu dengan
proses pemisahan ion logam berat atau dengan resin penukar ion (exchange resins), penyerapan menggunakan
karbon aktif, electrodialysis. reverse osmosis, penambahan koagulan
dan kapur. Teknik pengelolaan AAT secara fisik yang telah
dikembangkan yaitu penggunaan sabut kelapa dan kulit singkong sebagai bioremoval
untuk menurunkan kadar logam, penggunaan lempung (clay) sebagai soil cover,
dan penanganan di water pond agar AAT tidak merembes keluar. Penanganan di
water pond yang dapat dilakukan yaitu membuat volume water pond dapat menampung
akumulasi AAT dan melapisi dinding water pond menggunakan material tanah. Teknik
pengelolaan secara biologi yang dapat digunakan adalah bioremediasi dengan
menggunakan mikroorganisme dalam menanggulangi bahan pencemar.
Teknik
pengelolaan AAT secara pasif merupakan proses pengolahan yang tidak memerlukan
campur tangan manusia dalam penanganannya. Teknik ini merupakan suatu
pengolahan air yang memanfaatkan sumber energi yang sudah tersedia secara lami
seperti gradien topografi, energi metabolisme mikroba, fotosintesis, dan energi
kimia. Contoh teknologi pengelolaan AAT yaitu lahan basah aerobik, reducing and alkanility producing system,
dan open limestone drains.
Pembukaan
Lahan dan Pengelolaan Tanah Pucuk
Land
Clearing merupakan proses pembersihan lahan sebelum aktivitas penambangan
dimulai. Land Clearing dilakukan dengan penebangan pohon-pohon di hutan dan pembabatan
vegetasi lainnya. Menurut Sutoyo (2014) pengupasan lapisan tanah penutup yaitu pemindahan
suatu lapisan tanah atau batuan yang berada di atas cadangan bahan galian agar
bahan galian tersebut menjadi tersingkap. Pengupasan lapisan tanah penutup memerlukan
alat yang mendukung dan sistimatika pengupasan yang baik. Kegiatan pembersihan
ini dilakukan dengan menggunakan buldozer. Pekerjaan pengupasan lapisan tanah
penutup merupakan kegiatan yang mutlak harus dikerjakan pada pertambangan
terutama pada kegiatan penambangan yang menggunakan sistim tambang terbuka.
Pola
teknis dari pengupasan lapisan tanah penutup yaitu: a.) Back filling digging method dengan membuang tanah penutup ke tempat
yang sudah digali, b.) Benching system
dengan cara mengupas lapisan tanah penutup dengan sistem jenjang (benching). Cara ini pada waktu
pengupasan lapisan tanah penutup sekaligus sambil membuat jenjang, c.) Multi bucket exavator system dengan cara
membuang tanah penutup ke tempat yang sudah digali atau ke tempat pembuangan
khusus. Cara ini menggunakan Bucket Wheel
Exavator ( BWE), dan d.) Drag Scraper
System yang langsung diikuti dengan pengambilan bahan galian setelah tanah
penutup dibuang tetapi bisa juga tanah penutupnya dihabiskan terlabih dahulu kemudian
baru bahan galiannnya ditambang. Sistem ini cocok untuk tanah penutup yang
materialnya lunak dan lepas (loose).
Lapisan
tanah paling atas atau disebut tanah pucuk merupakan lapisan tanah yang paling memenuhi
syarat untuk dijadikan media tumbuh tanaman.
Lapisan tanah ini perlu dikonservasi dan dikelola agar dapat digunakan
sebagai media tumbuh yang baik dalam proses revegetasi. Hal ini mengindikasikan
bahwa proses reklamasi harus sudah mulai berjalan sejak proses penambangan
dilakukan. Konservasi tanah pucuk harus dilakukan pada awal penggalian.
Pengelolaan
tanah pucuk digunakan untuk mengatur dan memisahkan tanah pucuk dengan lapisan
tanah lain. Hal ini penting karena tanah merupakan media tumbuh bagi tanaman
dan merupakan salah satu faktor penting untuk keberhasilan pertumbuhan tanaman
pada kegiatan reklamasi. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan
tanah pucuk yaitu: a.) Pengamatan profil tanah dan identifikasi perlapisan
tanah tersebut sampai endapan bahan galian, b.) Pengupasan tanah berdasarkan
atas lapisan-lapisan tanah dan ditempatkan pada tempat tertentu sesuai tingkat
lapisannya, c.) timbunan tanah pucuk tidak melebihi dari 2 meter, d.) Pembentukkan
lahan sesuai dengan susunan lapisan tanah semula, e.) Tanah pucuk ditempatkan
paling atas dengan ketebalan minimal 0.15 m, f.) Ketebalan timbunan tanah pucuk
pada tanah yang mengandung racun dianjurkan mengisolasi dan memisahkannya, g.) Tanah
sebaiknya jangan dilakukan dalam keadaan basah untuk menghindari pemadatan dan
rusaknya struktur tanah, dan h.) Bila lapisan tanah pucuk tipis maka perlu
dipertimbangkan.
Penataan Lahan
Penataan
lahan dilakukan untuk memperbaiki kondisi bentang alam. Penataan lahan ini
dilakukan antara lain dengan cara: a.) Menutup lubang galian dengan menggunakan
limbah tailing (overburden). Lubang galian yang sangat dalam dibiarkan
terbuka untuk penampung air, b.) Membuat saluran drainase untuk mengendalikan
kelebihan air, c.) Menata lahan agar revegetasi lebih mudah dan erosi
terkendali diantaranya dilakukan dengan cara meratakan permukaan tanah. Tanah
yang sangat bergelombang penataan lahan dilakukan bersamaan dengan penerapan
suatu teknik konservasi misalnya dengan pembuatan teras, d.) Menempatkan tanah
pucuk agar dapat digunakan secara lebih efisien. Hal ini dikarenakan umumnya
jumlah tanah pucuk terbatas maka tanah pucuk diletakan pada areal atau jalur
tanaman. Tanah pucuk dapat pula diletakkan pada lubang tanam.
Menurut
Nurwaskito (2009) penataan lahan ini disesuaikan dengan keadaan atau kondisi
topografi, curah hujan, dan jenis tanah di lokasi penambangan. Kegiatan
penataan lahan ini dilakukan dengan kegiatan perataan lahan (regrading), pengaturan bentuk lereng, dan
pembuatan saluran pembuangan air pada areal tersebut yang diarahkan ke cek dam.
Setelah kegiatan-kegiatan tersebut maka dilanjutkan dengan kegiatan
mengembalikan tanah pucuk (top soil).
Perataan
Lahan (Regrading)
Kegiatan
penambangan menyisakan lubang-lubang, jurang, dan boulder yang berserakan. Kegiatan regrading dilakukan dengan menutup lubang-lubang bekas penambangan dengan
mengisi lubang tersebut menggunakan batu-batu dan tanah disekitar lubang. Jurang
dan boulder bekas kegiatan
penambangan bisa dilakukan dengan mendorong boulder
menggunakan alat berat bulldozer ke dalam
jurang. Kegiatan ini dilanjutkan dengan mengisikan tanah penutup ke dalam
jurang kemudian memadatkannya. Jurang-jurang tersebut akan menjadi landai dan boulder yang berserakan tersebut bisa diamankan.
Boulder yang sangat besar dan keras harus
dikecilkan dulu ukurannya dengan alat pemecah batu (breaker) yang dipadukan dengan alat berat jenis Exavator.
Pengaturan
Bentuk Lereng
Pengaturan
bentuk lereng bertujuan untuk mengurangi kecepatan air limpasan (run off) yang berakibat pada terjadinya
erosi dan sedimentasi dengan bentuk teras. Bentuk teras yang dipilih yaitu
teras bangku atau tangga. Kegiatan yang dilakukan yaitu membentuk serangkaian
bidang datar atau hampir datar yang miring ke arah dalam sekitar 10 – 50 dengan lebar teras minimal 10 meter.
Bidang-bidang tersebut dibatasi oleh bidang tegak yang ketinggiannya 5 meter
dengan kemiringan bench 500 – 600. Pertemuan bidang datar
dan bidang tegak dibuat saluran pembuangan air.
Pengaturan
Saluran Pembuangan Air
Penyaluran
aliran permukaan dan air yang tertampung oleh saluran dilakukan dengan membuat saluran
pembuangan air agar dapat mengurangi kerusakan lahan akibat erosi. Saluran ini
dibangun searah kontur. Saluran pembuangan air dialirkan kearah cek dam pada
teras terbawah,.
Pengendalian Erosi dan Sedimentasi
Pengendalian
erosi merupakan kegiatan yang harus dilakukan selama kegiatan penambangan dan
setelah penambangan. Erosi mengakibatkan berkurangnya kesuburan tanah,
terjadinya endapan lumpur. Pengendalian erosi dapat dilakukan dengan tindakan
konservasi tanah.
Menurut
Asdak (2002) teknik pencegahan erosi yang paling efektif yaitu melakukan
kombinasi dari teknik vegetatif dan cara mekanik. Teknik vegetatif mempertimbangkan
bahwa aktifitas utama konservasi tanah dengan cara vegetatif mengacu pada
penanaman vegetasi. Hal tersebut berkaitan dengan teknik-teknik silvikultur, pengetahuan
tentang iklim, tanah dan pengaruh manusia terhadap keberhasilan atau kegagalan
kegiatan penanaman vegetasi tersebut. Menurut Nurwaskito (2009) secara umum
keberhasilan penanaman vegetasi untuk tujuan konservasi tanah akan ditentukan
oleh: a.) Memprioritaskan jenis tanaman yang mudah beradaptasi dengan
lingkungan setempat atau jenis spesies vegetasi lokal, b.) Tanah dan curah
hujan cukup memadai untuk menjamin kelangsungan tumbuh vegetasi yang akan
ditanam, dan c.) Jumlah biji vegetasi yang akan ditanam harus cukup, disiapkan dengan
baik dan ditanam dengan kedalaman yang memadai. Tala’ohu dan Irawan (1995)
menggunakan strip vetiver untuk pencegahan erosi pada areal bekas tambang batu
bara. Vetiver merupakan pilihan yang terbukti tepat karena selain efektif
menahan erosi, tanaman ini juga relatif mudah tumbuh pada kondisi lahan buruk
sehingga bertindak sebagai tanaman pioner.
Pencegahan
erosi dengan cara mekanik mengacu pada pembuatan bangunan pencegahan erosi. Tujuan
utama pembuatan bangunan pencegah erosi yaitu untuk mengurangi kecepatan dan
volume air larian serta kehilangan tanah (erosi) dengan cara menahan air
(hujan) tetap pada tempatnya atau minimal mengurangi kecepatan alirannya. Menurut
Nurwaskito (2009) hal ini mempertimbangkan bahwa usaha konservasi dengan cara
mekanik termasuk mahal sehingga cara ini akan dilakukan bila: a.) Air yang
mengalir dan sedimen yang berasal dari daerah hulu akan mengancam
fasilitas-fasilitas penting di daerah hilir, b.) Reklamasi di daerah hulu
tersebut dianggap penting bagi kehidupan orang-orang di daerah tersebut, dan c.)
Hasil produksi di daerah tersebut paling tidak sama atau bahkan lebih besar
daripada biaya yang akan dikeluarkan untuk pembuatan bangunan pencegah banjir. Bentuk
bangunan pencegah erosi yang umum dijumpai yaitu teras, bangunan terjunan (drop structures), pengendali jurang (gully plugs), saluran pembuangan (contour trenches), dan penahan (check dams).
Pengelolaan
sedimen dapat dilakukan dengan membuat bangunan penangkap sedimen. Bangunan
penangkap sedimen misalnya rorak dan bangunan penangkap yang relatif besar di
dekat saluran pembuangan.
Pemilihan Jenis
Lahan-lahan
tambang umunya memiliki kondisi yang ekstrim seperti tanah dengan keasaman yang
tinggi, tergenang, tanah berbatu, dan kandungan unsur hara yang sedikit. Hal
ini menuntut pemilihan jenis tanaman yang mampu beradaptasi dengan lingkungan
yang ekstrim tersebut. Menurut Mansur (2013) jenis pohon yang tumbuh di hutan
sekitar areal tambang atau hutan-hutan sebelum ditambang merupakan jenis-jenis
pohon yang terbukti mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat. Menurut
Nurwaskito (2009) penanaman dilakukan dengan menanam berbagai macam tumbuhan
lokal yang sesuai dengan iklim dan kondisi tanah setempat yang bersifat
permanen. Berdasarkan hal tersebut maka jenis lokal menjadi jenis andalan untuk
rehabilitasi lahan bekas tambang. Jenis-jenis pohon lokal yang dipilih yaitu
jenis-jenis pohon pioneer yang tidak memerlukan naungan dalam perkembangannya.
Jenis pioneer juga merupakan jenis-jenis yang cepat tumbuh dan cepat menguasai
lahan-lahan terbuka.
Jenis
pohon intoleran juga menjadi pohon yang direkomendasikan untuk kegiatan
penanaman pada lahan pasca tambang. Pohon intoleran yaitu pohon yang mampu tumbuh
di bawah naungan khususnya pada saat umurnya masih muda. Jenis pohon intoleran
mampu berkecambah dan tumbuh di laahn-lahan terbuka dengan cahaya penuh.
Jenis-jenis
pohon yang direkomendasikan untuk di tanam di lahan pasca tambang di Kalimantan
yaitu jenis-jenis pohon lokal dan cepat tumbuh seperti Fordia splendidissima, Ficus
sp., Litsea sp., Macaranga hypoleuca, Syzygium
sp., Archidendron microcarpum, Alstonia sp., Cratoxylum sumatranum, Homalanthus
populneus, dan Vernonia arborea.
Rekomendasi
pemilihan jenis ini berdasarkan penelitian Adman et al. (2012) mengenai pemanfaatan jenis pohon lokal cepat tumbuh
untuk pemulihan lahan pasca tambang dengan studi kasusdi PT Singlurus Pratama,
Kalimantan Timur. Berdasarkan penelitian Nugroho dan Adman (2010) jenis pohon
lokal dan cepat tumbuh yang berpotensi untuk ditanam pada lahan pasca tambang
di Kalimantan berdasarkan studi kasus di PT Jembayan Muarabara, Kalimantan
Timur yaitu Vitex pinnata dan Syzygium sp. Jenis-jenis pohon lokal
lain yang memiliki nilai ekonomis seperti Artocarpus
sp., Mangifera sp., dan Eusideroxylon zwageri dapat digunakan
sebagai tanaman sisipan untuk pengayaan jenis. Penanaman berbagai jenis tanaman
ini perlu dicoba dalam skala kecil dulu. Jika tanaman-tanaman tersebut cocok
dengan kondisi lahan maka bisa ditanam dalam skala besar.
Persiapan Bibit di Persemaian
Pengadaan bibit
dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu perusahaan memproduksi sendiri bibit di
persemaian, membeli bibit dari pengusaha bibit atau masyarakat, atau kombinasi
dari keduanya. Hal yang penting yang harus diperhatikandalam pengadaan bibit
yaitu bibit yang akan ditanam memenuhi syarat untuk digunakan dalam
rehabilitasi lahan bekas tambang. Bibit tersebut harus memebuhi syarat yaitu
sehat, ukuran yang sesuai dengan tinggi 30-50 cm, keanekaragaman yang tinggi,
jumlah sesuai dengan kebutuhan, dan tersedia tepat waktu.
Menurut
Mansur (2013) persiapan bibit di lapangan meliputi beberapa hal yaitu survey
jenis pohon dan sebaran anakan alam sebagai sumber bibit jenis pohon lokal,
perencanaan persemaian, teknik pengecambahan beberapa jenis pohon pioneer untuk
revegetasi, penyapihan dan pemeliharaan bibit di persemaian, evaluasi mutu
bibit, persiapan bibit menjelang pengangkutan dan penanaman sampai pengangkutan
bibit ke lapangan.
Survey
pohon dan sebaran anakan alam perlu dilakukan untuk mengembangkan jenis-jenis
pohon lokal dan sebaran anakan alam. Pengenal pohon lokal diperlukan agar lebih
mudah untuk mengenali jenis pohon yang ada. Masyarakat lokal yang mengenali
jenis-jenis pohon misalnya tukang kayu dan penebang pohon.
Persemaian
memiliki tujuan utama yaitu mendapatkan bibit yang seragam, jumlahnya cukup,
dan tepat waktu. Perencanaan persemaian untuk rehabilitasi lahan bekas tambang
dimaksudkan untuk memperkiraan kebutuhan lahan untuk persemaian dan jumlah
bibit yang dibutuhkan. Perencanaan persemaian sangat diperlukan untuk menjamin
bibit dalam jumlah dan kualitas yang dinginkan tepat waktu. Jumlah bibit yang
tergantung pada luas area, jaraktanam (biasanya 3 m x 3 m atau 4 m x 4m), dan
sulaman sebesar 20%.
Produksi
bibit secara generatif dapat dilakukan dengan benih maupun anakan alam yang
tumbuh di hutan dengan cara cabutan atau puteran. Cabutan dilakukan untuk
bibit-bibit dengan ukuran kurang dari 30 cm. Pengambilan bibit ini disebut
cabutan karena tidak mengikutkan tanah di daerah perakaran anakan. Puteran
dilakukan untuk bibit-bibit dengan ukuran lebih dari 30 cm. Pengambilan bibit
ini disebut puteran karena mengikutkan tanah di daerah perakaran anakan
sehingga sistim perakaran bibit tidak terganggu.
Produksi
bibit secara vegetatif dapat dilakukan dengan cara stek. Produksi bibit dengan
stek dilakukan jika benih tidak tersedia atau harga benih terlalu mahal. Stek
dapat dilakukan dengan stek pucuk, stek batang, dan stek akar.
Pengecambahan
benih umumnya memerlukan teknik khusus tergantung jenis benihnya. Penyapihan
dilakuakan pada pagi hariantara jam 06.00-10.00 sore hari anatara pukul
03.00-17.00. Pemeliharaan bibit di persemaian terdiri atas penyiraman,
penyulaman, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, pemberantasan gulma,
dan pemotongan akar yang keluar dari polybag.
Perbaikan Kualitas Lahan
Perbaikan
kualitas lahan meliputi pebaikan sifat fisik,kimia, dan biologi tanah (Mansur
2013). Perbaikan sifat fisik tanah bertujuan untuk memperbaiki porositas dan
pemeabilitas tanah. Perbaikan sifat fisik tanah dilakukan dengan cara
menggemburkan tanah dan penambahan bahan organik. Perbaikan sifat kimia tanah
dilakuakn untuk memperbaiki reaksi tanah yaitu agar pH tanah mendekati netral,
meningkatkan ketersediaan unsur hara dan air. Perbaiakn kandungan unsur hara
tanah dapat dilakukan dengan pemberian pupuk anorganik atau organik.
Perbaiakn
kualitas lahan dapat juga dilakukan dengan aplikasi asam humat yang berguna
untuk mengikat unsur hara dan merangsang tumbuhnya mikroba tanah bermanfaat.
Aplikasi asam humat ini pernah diteliti oleh Mansur et al. (2007) di PT Maruwai Coal yang mengaplikasikan asam humat
1:40 sebanyak 3 liter per lubang tanam dikombinasikan dengan kompos 3 kg yang
dapat meningkatkan pertumbuhan Shorea
becariana.
Pupuk
dan kompos juga dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas lahan. Menurut
Mansur (2013) aplikasi kompos sebanyak 30 ton/ha dan pupuk anorganik seperti
urea, SP36, dan KCl masing-masing 400 g per lubang tanam.
Penanaman
Penanaman
dilakukan dengan menanam tanaman penutup tanah dan pohon (Mansur 2013).
Penanaman dengan tanaman penutup tanah bertujuan untuk mrlakukan perlindungan
terhadap tanah secara cepat. Jenis-jenis yang dipilih yaitu jenis dari family Leguminosae
yang dapat sekaligus menyuburkantanah karena dapat bersimbiosis dengan
Rhizobium dan menambat nitrogen dari udara. Jenis tanaman yang sering digunakan
yaitu Pueraria sp., Centrosema sp., Calopogonium sp., dan Mucuna
sp. Tanaman sorgum juga merupakan tanaman yang dapat digunakan untuk penutup
tanah yang memiliki manfaat yang banyak. Biji sorgum untuk bahan makanan, daun
sorgum untuk pakan ternak, dan air perasan batang dapat digunakan untuk
bioethanol. Penanaman sorgum ini telah diujicobakan di PT Green Planet
Indonesia di area bekas tambang PT Galuh Cempaka (Mansur 2013).
Menurut
Nurwaskito (2009) penanaman jenis-jenis pohon pada lahan pasca tambang dilakukan
dengan sistem cemplongan yaitu dengan membuat lubang tanam berukuran 50 cm x 50
cm dan kedalaman lubang 50 cm. Pembuatan lubang tanam bisa dengan cara manual
yaitu dengan menggunakan cangkul dan linggis. Pembuatan lubang tanam bisa juga
dengan menggunakan alat berat exavator jenis back hoe tetapi harus dengan pengawasan ketat dari pengawas lapangan.
Tanah hasil penggalian lubang dicampur dengan pupuk kandang sebanyak 3-5
kg/pohon sebagai pupuk dasar kemudian dikembalikan ke dalam lubang saat
penanaman. Adapun alat yang digunakan untuk mencampurkan tanah galian dengan
pupuk tersebut adalah sekop.
Pola
tanam yang bisa digunakan yaitu pola bujur sangkar. Pola
tanam ini diterapkan di PT Aneka Tambang Tbk Unit Bisnis Pertambangan Nikel
(UBPN) Operasi Pomalaa di Kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara
(Nurwaskito 2009). Keuntungan pola ini yaitu mempermudah dalam hal penyiangan
dan tanaman terlihat rapi.
Standar
jarak tanam yang ideal digunakan yaitu 3 m x 3 m namun penentuan jarak tanam
juga berdasarkan pada pertimbangan perkembangan tanaman selanjutnya. Pola jarak
tanam sebenarnya bisa dengan pola 3 m x 3 m atau 3 m x 4 m atau 5 m x 5 m dan
sebagainya.
Pelaksanaan
revegetasi disesuaikan dengan kondisi cuaca khususnya curah hujan. Tujuannya yaitu
agar setelah selesainya kegiatan penanaman maka tanaman yang telah ditanam
tidak memerlukan pekerjaan khusus untuk penyiraman air pada awal penanaman sehingga
pelaksanaan revegetasi ini dapat berlangsung lebih efektif dan lebih ekonomis.
Pemeliharaan
Tingkat
keberhasilan dari penanaman akan berkurang bila tidak dilakukan pemeliharaan
dengan baik, untuk itu perlu dilakukan pemeliharaan atau perawatan tanaman
secara rutin dan terencana. Menurut Nurwaskito (2009) pemeliharaan yang telah
dilakukan oleh PT Aneka Tambang Tbk UBPN Pomalaa yaitu pemupukan, pemantauan,
dan penyulaman.
Pemberian
pupuk kandang pada waktu penanaman dimulai pada lubang tempat penanaman. Satu
tahun setelah penanaman dilakukan pemeliharaan dengan memberi pupuk lagi. Tahun
berikutnya dipantau, jika tanaman sudah tidak perlu pemupukanmaka tanaman akan
dibiarkan hidup alami. Tetapi jika memerlukan pemupukan maka pemupukan
dilakukan pada tanaman yang kurang subur. Pemupukan dilakukan maksimal 3 kali termasuk
pada saat tanam.
Satu
bulan setelah penanaman dilakukan pemantauan meliputi besar presentase tumbuh,
tinggi tanaman, diameter batang, dan lingkaran tajuk (daun) artinya penutupan
sudah sampai mana. Pemantauan kedua dilaksanakan 3 bulan setelah tanam. Pemantauan
ketiga 6 bulan setelah tanam. Pemantauan keempat 1 tahun setelah tanam. Pemantauan
ke lima dilaksanakan 2 tahun setelah tanam.
Penyulaman
dilakukan jika pada waktu pemantauan ditemukan tanaman yang mati. Hal ini biasa
dilakukan pada pemantauan pertama yaitu 1 bulan setelah dilakukan penanaman. Kegiatan
penyulaman pada pemantauan selanjutnya dilakukan secara kolektif. Jika target
penutupan telah terpenuhi (80% keatas) maka tidak perlu dilakukan penyulaman. Penyiraman
bisa dilakukan secara rutin 2 kali sehari (pagi dan sore). Penyiraman
memerlukan mobil tangki yang dilengkapi dengan selang penyiram.
Menurut
Mansur (2013) pemeliharaan lain yang dapat dilakukan yaitu pengendalian tanaman
penutup tanah, pengendalian hama dan penyakit, pemangkasan, dan penjarangan.
Tanaman penutup tanah jika perkembangannya sangat pesat maka akan menjadi
pesaing bagi bibit pohon yang ditanam. Penyiangan tanamn penutuptanah ini dapat
dilakukan pada jalur tanam 1-2 m atau piringan agar tidak menyebabkan erosi.
Pengendalian hama dan penyakit dapat dilakukan dengan cara mekanik,kimia, dan
biologi. Pemangkasan dilakukan untuk membuka akses, mencegah kebakaran, dan
meningkatkan kualitas kayu. Penjarangan dilakukan ketika tajuk pohon telah
bersentuhan satu sama lainnya.
Pelibatan Masyarakat dalam Kegiatan Reklamasi
Sektor
pertambangan dikenal sebagai prime mover
roda perekonomian di suatu daerah. Hal ini karena sektor inilah yang menjadi
cikal bakal hidup dan berkembangnya perekonomian suatu masyarakat di daerah
tambang. Sebagian dari masyarakat ikut datang ke daerah tersebut dan membentuk
komunitas baru ketika suatu tambang masuk ke dalam hutan dan beroperasi. Masyarakat
umumnya bermatapencaharian di sektor pertambangan.
Perlu
diingat bahwa reklamasi lahan pasca tambang juga merupakan kepentingan
masyarakat sekitar kawasan yang dikelola sehingga tujuan reklamasi tidak boleh hanya
ditentukan sendiri oleh perusahaan pertambangan yang bersangkutan. Keterlibatan
masyarakat menjadi penting dalam kegiatan reklamasi lahan pasca tambang. Proses
ini terus berlanjut hingga perusahaan benar-benar lepas dari mekanisme
penutupan tambang. Pelibatan masyarakat ini diharapkan mampu menciptakan daerah
baru yang penopang perekonomiannya tidak berasal dari tambang sehingga harapan
terwujudnya pembangunan berkelanjutan bisa tercapai.
Pelibatan
masyarakat sekitar dalam kegiatan reklamasi lahan pasca tambang misalnya
pembibitan tanaman kehutanan untuk digunakan dalam kegiatan penanaman pada
reklamasi lahan pasca tambang. Perusahaan dapat membeli bibit dari masyarakat
sehingga memberi keuntungan juga bagi masyarakat. Hal ini dikarenakan
masyarakat lebih tahu cara-cara pembibitan terutrama jenis tanaman lokal.
Selain itu pelibatan masyarakat juga dapat dilakukan dengan cara melibatkan
masyarakat pada kegiatan penanaman seperti pembuatan lubang tanam, pemancangan
ajir, dan menanam tanaman pada lahan pasca tambang. Hal ini juga akan
memberikan keuntungan bagi masyarakat karena masyarakat akan mendapat upah dari
kegiatan penanaman.
PENUTUP
Konsep
rencana pengelolaan lingkungan dan reklamasi lahan pasca tambang diperlukan untuk
mengurangi kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dan menghasilkan
nilai tambah bagi lingkungan. Konsep ini
meliputi pencegahan dan pengelolaan Air Asam Tambang (AAT), pengelolaan tanah
pucuk, penataan lahan, pengendalian erosi dan sedimentasi, perbaikan kualitas
lahan, dan melibatkan masyarakat dalam kegiatan reklamasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adman
B, Hendrarto B, Sasongko DP. 2012. Pemanfaatan jenis pohon lokal cepat tumbuh
untuk pemulihan lahan pascatambang batubara (studi kasus di PT Singlurus
Pratama, Kalimantan Timur). Jurnal Ilmu
Lingkungan. 10(1):19-25.
Asdak
C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai. Yogyakarta (ID): UGM Press.
Gautama
RS. 2012. Pengelolaan air asam tambang. Makalah dalam Bimbingan Teknis Reklamasi dan Pascatambang Pada
Kegiatan Pertambangan dan Batubara
Ditjen Mineral dan Batubara, KESDM. Yogyakarta.
Mansur
I. 2013. Teknik Silvikultur untuk
Reklamasi Lahan Bekas Tambang. Bogor (ID): SEAMEO BIOTROP.
Nugroho
AW, Adman B. 2010. Pertumbuhan Tanaman
Jenis Lokal pada Lahan Reklamasi Tambang di Tenggarong Seberang, Kalimantan
Timur. Balikpakpan (ID): Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya
Alam.
Nurwaskito
A. 2009. Rancangan Reklamasi Lahan pada Kegiatan Pertambangan Bijih Nikel di PT
Aneka Tambang Tbk Kolaka. [tesis]. Makassar (ID): Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin.
Sutoyo.
2014. Biaya produksi tambang terbuka. Journal
of Economic & Social. 29-37.
Tala’ohu
SH, Irawan. 2014. Konservasi Tanah dalam
Menghadapi Perubahan Iklim: Reklamasi Lahan Pasca Penambangan Batubara.
Jakarta (ID): IAAD Press.
Wijaya
RAE. 2010. Sistem pengolahan air asam tambang pada water pond dan aplikasi model encapsulation in-pit
disposal pada waste dump tambang batubara.
Jurnal Manusia dan Lingkungan. 17(1):
1 – 10.
Langganan:
Postingan (Atom)